Kita semua patut berduka atas apa yang terjadi di Palestina. Setelah
serangan teroris di Mumbai India yang menewaskan ratusan orang, kini
lebih dari 400 jiwa melayang akibat serangan Israel terhadap
Palestina. Sungguh akhir dan awal tahun yang menyedihkan. Betapa
ironis juga, Desember lalu kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia
(HAM) Sedunia (10 Desember). Terlebih lagi kita tahu bahwa Israel
adalah karib Amerika, negara yang dianggap sangat peduli terhadap HAM.
Perang Israel-Palestina bukanlah perang lokal di Timur Tengah.
Keduanya ada dalam lintasan kepentingan dunia. Maka, bukan tidak
mungkin kalau dunia ini akan kembali berperang, dengan
ketegangan-ketegangan ideologi dan agama sudah semakin menguat dan
terbuka. Sungguh sesuatu yang enggan dibayangkan.
Jauh dari bayangan-bayangan kelam itu, sebenarnya umat Indonesia mesti
lebih resah lagi, pasalnya perang masih menyelimuti negeri ini. Perang
antarsipil, sipil vs militer, rakyat vs negara, dan perang-perang
lainnya yang semakin membenamkan rakyat ke jurang keterpurukan. Lebih
sial lagi, pemenang dari semua itu adalah kelompok pemodal, baik lokal
maupun internasional yang tak bersandarkan pada keuntungan rakyat.
Itulah sebetulnya musuh terbesar kita.
Kontribusi Indonesia
Menyikapi perang Israel-Palestina, apa yang bisa dilakukan di
Indonesia? Untuk sekadar ikut mengaktifkan peran luar negeri
Indonesia, terlebih Indonesia menjadi salah satu bagian dari anggota
Dewan Keamanan PBB tidak tetap, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
melayangkan sepucuk surat untuk Sekjen PBB. Suatu upaya klise di
antara beragam cara lain yang bisa ditempuh dan terbukti konkret.
Agaknya, pascakejayaan Bung karno, Indonesia dalam kancah
internasional bukanlah nama yang strategis dan penting lagi. Malah
sebaliknya, Indonesia hanya dianggap penting sebagai pasar besar untuk
globalisasi. Salah satu kekalahan de facto yang tak bisa terbantahkan
lagi. Suatu cacat bagi kemerdekaan 1945 tentunya.
Yang penting untuk direnungkan adalah kasus Palestina bukanlah semata
kasus agama. Ia adalah konflik politik yang juga dapat kita temukan
padanannya di Indonesia. Menghentikan perang bukan dengan ikut
berperang. Keterjajahan secara ekonomi bisa mengakibatkan tragedi di
segala lini. Tak terkecuali tragedi kemanusiaan. Kerakusan untuk
menguasai modal adalah sumber utama konflik. Maka, dalam konteks
bernegara, bagaimana kita bisa memaksimalkan peran negara untuk
mengatasi persoalan tersebut.
Memerangi imperialisme bukanlah dengan perang fisik, tetapi
menggunakan strategi budaya yakni dengan menciptakan budaya cinta
dalam negeri dan menolak untuk bergantung pada bantuan asing.
Sekarang, masih dalam kemasan perang Israel-Palestina, muncul isu
boikot produk Amerika dan sohib-sohibnya. Isu itu terasa seksi di saat
rakyat juga menuntut pada negara untuk menasionalisasi aset-aset asing.
Namun untuk melakukan itu, tentunya tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Sekali lagi, strategi budaya ini mesti dijadikan
platform kebijakan pemerintah untuk menekan negara-negara induk
kapital agar mereka berhenti mengeksploitasi dunia. Secara tidak
langsung dampaknya bisa diarahkan menghentikan perang Israel-Palestina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar